Kenangan Masa Kecil yang Tidak Bisa Saya Lupakan

kangen

Hanya bercerita soal saya, saya saja, cuma saya dan saya yang super narsis. Menyenangkan menceritakan diri sendiri untuk nantinya dibaca sendiri.


Dicari oleh Hampir Seluruh Warga Desa Karena dipikir Saya diculik

Ini semua karena keponakan saya. Laki-laki yang saat itu usianya mungkin 6 tahun atau 5 tahun. Dia selalu mengikuti kemanapun saya pergi. Saya mau mencuri tebu, dia ikut, ke kampung sebelah? Dia ikut. Nyari ikan? Dia juga ikut.

Lalu waktu itu, rencananya saya dan seorang teman mau pergi ke penggilingan batu. Saya penasaran kok ada mesin penggiling batu, jadi saya ke sana tapi jaraknya jauh dari rumah. Keponakan saya ini ikut terus, pada akhirnya dia diajak. Kami bertiga pun berpetualang bersama. Di tengah jalan, kami nyolong tebu karena haus. Tindakan ini tidak bisa dibenarkan karena mencuri itu akhlak tercela. 

Saat itu kami telah sampai di desa seberang. Rasa ragu dan was-was menyelimuti karena perjalanan ke penggilingan batu masih jauh. Singkat cerita kami pulang, keponakan saya juga rewel karena takut. Pas itu saya dan teman saya dahaga, kami memutuskan mencuri kelapa muda, tapi tidak bisa naik.

Saat itu terdengar ada keributan. Saya takut, lalu lari ke dekat semak-semak karena takut dibawa polisi karena berusaha maling kelapa muda dan tebu. 

“Loh! Iku wonge!” Artinya, itu dia orangnya! Tetangga saya teriak lalu menunjuk saya yang ngumpet di balik semak-semak. Takut banget. Apa ini karena ketahuan ambil kelapa muda? Tapi kan kelapa mudanya belum dapat. Apa jangan-jangan karena tebu?!

Endingnya saya dan keponakan (teman saya yang satu sudah hilang entah kemana), diarak-arak oleh warga desa. Tetangga yang menemukan saya marah-marah, kami berdua menjadi pusat perhatian seluruh desa, lalu datanglah ayah dari keponakan saya, dan ibunya. Ibu keponakan saya nangis, saya melongo bertanya-tanya. Apa ini karena saya mencuri tebu?

Usut punya usut, ternyata mereka telah mencari anaknya kemana-mana, tapi tidak ada. Mereka pikir diculik, ternyata yang nyulik adalah saya. Saya takut banget, ngerasa bersalah, dan takut juga karena sempat berniat mencuri kelapa muda dan tebu.

Entah kenapa, yang lebih membuat hati gelisah karena telah mencuri tebu dan sempat berniat mencuri kelapa muda. Semenjak kejadian itu saya jadi viral.

Memainkan Permainan Tradisional dan Modern

Masa kecil saya benar-benar bahagia. Permainan tradisional hingga modern, semua pernah saya mainkan.

Yang paling berkesan saat itu adalah main PS ke rumah temen. Tiba-tiba ibu dari teman saya datang. Dia menyeret paksa anaknya keluar, lebih ngerinya lagi pas pantat temen saya mendarat di kerikil-kerikil tajam, dia tetep diseret. Temen saya nangis banget, tapi abis bayangannya hilang dari mata saya, dia balik lagi dengan air mata berurai. Dia lanjut main PS di samping saya sambil sesenggukan. Gak lama ibunya balik lagi terus nyeret dia lagi.

Pas ibunya dateng, kakakku ternyata jemput saya juga. Jantung deg-degan parah, jangan-jangan mau diseret juga. Syukurnya enggak. Terus saya pun pulang dengan patuh, gak protes apa-apa.

Ada juga waktu dimana saya main petak umpet, lalu pas ngumpet datang emak saya bawa ranting kayu, dia nyuruh saya pulang karena belum makan. Saya terbirit-birit pulang sebelum dipukul. Sampai sekarang masih mikir, waktu itu temen-temen nyari saya atau gak ya? 

Dulu Kehidupan Saya Mirip Mail, Suka Cari Uang 

Jika ada peluangnya, maka saya akan terjun ke bisnis itu. Pernah jualan gethuk goreng, jualan karet gelang, ikan Mas, kelereng, buku binder dan yang paling epic adalah mulung sampah.

Ada temen saya bilang, “Kemarin aku mulung dapet uang 10 ribuuu.”

Sejak saat itu, profesi mulung langsung viral. Anak-anak yang biasanya cuma tahu main, secara kompak mencari botol plastik, paku, dan kaleng. 

Yang saya ingat, dulu saya cari sampah di sungai. Berbekal magnet kecil, saya nyelem lalu cari paku di dasar sungai. Terus cari botol-botol di rumah, sampah gak berguna dan malahan sampah yang saya kumpulkan dibarter dengan kerupuk dan bawang merah. Sejak saat itu semangat mulung langsung turun.

Paling seru jualan ikan mas. Temen saya punya bak mandi tidak terpakai. Kami taruh ikan seperti nila, mas, dan lele di kolam yang sama. Kami beli ikan di sekolah, lalu dijual di rumah. Para pelanggan berdatangan beli ikan, harganya dinaikkan sedikit buat keuntungan, atau tidak dinaikkan ya? Lupa. Bisnis ini berjalan lancar-lancar saja, sebelum akhirnya kami menyadari bahwa bak tempat menaruh ikan ternyata bocor. Pekerjaan kami jadi berat, karena harus mengisi bak dengan menimba air, agar ikan tidak mati.

Kalau di sekolah, usaha yang saya lakukan adalah jualan karet gelang. Saya lakukan bisnis ini dengan saudara sekaligus sahabat saya. Bisnis kami untung, tapi harus berakhir karena karet gelang sudah bukan zamannya lagi.

Rutinitas Harian Saya 

Suasana paling enak itu pas sore hari. Masih ingat banget, main bola sama temen-temen, terus Masjid menyetelkan pujian-pujian, tanda kami untuk mengakhiri aktivitas. Kami semua pulang ke rumah masing-masing, lalu mandi dan ngaji ke masjid dari Maghrib sampai Isya’. 

Kalau ustadz-nya tidak datang, kami habiskan malam menunggu waktu Isya dengan jalan-jalan pakai sepeda. Dulu sepeda saya canggih banget. Sepeda mini yang ada lampunya, jadi tidak gelap.

Pulang dari ngaji lanjut nonton TV, terus di bawah jam 10 atau 9, mata sudah ngantuk kemudian tidur. Keesokan harinya bangun, nonton acara TV, Chalkzone, Spongebob, Doraemon dan sejenisnya sambil menunggu sarapan matang. Setelah sarapan matang, saya makan terus mandi terus berangkat sekolah.

Di sekolah belajar dan bermain, tapi lebih dominan bermain. Saya termasuk anak yang bandel, dan satu-satunya cewek yang pernah dapat jewer guru karena pas pelajaran bukannya diam di kelas malah keluyuran keluar kelas. Saya sering berantem dengan anak laki, saling tendang tulang kering, lalu kejar-kejaran.

Pas pulang sekolah saya pergi bareng dengan anak laki yang berantem dengan saya. Dengan sangat sengaja kami mengambil rute pulang yang berliku-liku, kita ngobrol sepanjang pulang. Selama itu saya netapin hati polos saya, “Gak akan jadikan dia suami.” Karena dia suka pukul saya, kasar. Padahal tidak ada yang tanya ini, tiba-tiba suka membatin ini. Sampai sekarang masih ingat. 

Pulang dari sekolah, saya makan, kadang lupa, terus dimarahin emak. Setelah makan, langsung nonton TV sambil menunggu jam 1 atau setengah 2 buat ke sekolah TPQ. 

Ada peristiwa prik yang saya ingat sampai sekarang. Dulu saya tolol banget, gak tahu jam. Saya berangkat lebih siang dari biasanya, lalu menemukan bahwa sekolahnya tutup. Saya pikir libur. Kemudian saya jajan ke warung dan nongkrong di sana. Alhasil, uang jajan pun habis. Setengah jam setelah itu saya lihat ada anak-anak berangkat sekolah. Ternyata sekolah tetap masuk, saya berangkat terlalu awal, makanya masih ditutup.

“Kamu gak sekolah?!” Tanya penjaga warung. Saya ragu dia siapa, tapi kayaknya Budeku. Sampai sekarang bingung sama siapa keluargaku dan tetanggaku. 

Terus saya dipaksa sekolah, tapi saya gak mau karena uang sudah habis. Masih inget banget dulu beli permen Marbels. Uang abis buat beli gituan. Foya-foya banget dulu mentang-mentang sekolah libur. Beli permen Marbels sampai 2 renteng. 

Pulang dari sekolah sore, lanjut main sama temen-temen kampung. Main bola, petak umpet, atau bulu tangkis. Semuanya pernah saya mainkan dan ikuti, kendati saya hanya satu-satunya perempuan di sana.

Peristiwa Berdarah Saat Masih Kecil

Teman saya banyak banget. Di sekolah pagi, sekolah sore, dan teman-teman kampung, seberang kampung dan teman-teman di sebelah jalan. 

Saya akan membahas teman di sekolah sore. Sore itu kala istirahat datang, saya dan teman cewek main di halaman depan sekolah. Lomba lari. Siapa yang berhasil sampai di ujung sana lebih dulu, maka dia pemenangnya. 

Kami mulai lomba, lari sekencang mungkin di atas beton lantai batako yang licin karena habis diguyur hujan. Kaki temanku terpeleset, terus jatuh dan kepalanya kena tanganku tapi saya gak bisa nahan dia karena peristiwanya cepet banget. Singkatnya, dia jatuh ke lantai batako, terus kerudung birunya ngeluarin darah banyak banget. Temen saya masih sadarkan diri, dia nangis sambil memegang kepalanya yang berdarah terus pulang dengan sangat mandiri sambil teriak-teriak, “Ibuuuu, Ibuuuu.”

Darah yang keluar banyak banget. Kerudungnya jadi merah semua. Saya takut banget kalau dituduh mendorongnya atau saya yang mencelakainya. Takut banget kalau dibenci dan gak mau temenan sama saya lagi.

Malam harinya, ibuku ngajak ke rumah temenku yang kepalanya berdarah itu. Saya ngintip dari jendela dulu, malu-malu, takut juga kalau ada polisi di dalem. Ternyata saya disambut baik sama mereka. Temenku juga cengar-cengir dan masih baik ke saya. Saya coba intip kepalanya, yang saya lihat cuma kawat di sela-sela rambutnya. Kok ada kawat ya? Sampai sekarang masih bertanya-tanya. 

Saya gak berteman baik dengan orang itu, yang jelas dia tidak pernah membenci saya, kalau ketemu juga masih suka nyapa. Dia kakak kelas saya 2 tahun lebih tua, jadi tidak bisa dekat seperti teman-teman saya yang sebaya.

Entah kenapa, meski saya sudah minta maaf, dan dia maafin saya, rasa bersalah itu masih ada sampai sekarang. Takut banget ya Allah, dia berdarah tepat di depan saya. Ini karena saya lomba lari sama dia.

Puasa Kalau Ada Orang dan Makan Saat Tidak Ada Orang

“Makan aja, Nak, kamu kan gak sahur,” kata ibuku.

“Emang boleh, Mak?”

Kata beliau boleh. Terus saya makan dulu sebelum main. Sampai di tempat main, teman saya tanya, “Puasa gak?” Saya jawab, “Puasa.”

“Tapi kok ada nasi di baju kamu?!”

Saat itu saya terdiam, lalu memutuskan membeli es cekek karena sudah terlanjur ketahuan.

Saya punya sahabat di desa seberang jalan, dia alim banget, pendidikan agamanya juga cukup ketat waktu itu. Sekarang dia jadi Hafidzah yeaay! Bangga banget.

Kalau ada waktu, dia main ke rumah saya. Tiap main, dia saya ajakin berbuka puasa pas adzan Dhuhur. Ibu saya biasa saja karena menganggap saya masih belajar, beda dengan sahabat saya yang sudah puasa full satu hari. Sore hari dia pulang, lalu Maghrib-nya berbuka. Ibunya curiga karena anaknya cuma makan sedikit. Lalu endingnya dia tahu kalau anaknya cuma puasa setengah hari.

Sejak saat itu dia mewanti-wanti banget kalau puasa jangan main ke rumahku wkwk biar bisa puasa full. Ngakak banget, berasa saya setan. Ibu saya juga setan karena nyuruh temen saya berbuka puasa di siang hari wkwkwk.

Patah Hati Terberat Saat Masih Kecil Dulu

Kakak dan ibu sering berbicara kejam. Tapi saya tidak gimana-gimana. Mereka suka pukul sampai bikin benda yang digunakan buat mukul itu patah. Intinya pukulannya keras banget. Tapi saya gak patah hati dengan tindakan mereka, saya cuma nangis karena emang harus nangis. Setelah nangis, saya lupa semuanya seolah tidak terjadi apa-apa.

Pernah teman saya bilang, “Kamu gak dendam ya sama mereka?”

Ini teman saya pernah jadi saksi tengil pas dipukul kakak saya. Nyebelin banget, dia ngetawain.

Saya gak bisa dendam, yakali. Lupa gitu aja. Gak sakit, walau nangis. Padahal nyelekit banget dulu kalau mereka marah, tapi saya gak ngerasain hati saya sakit.

Satu-satunya luka yang masih saya ingat waktu kecil itu malah berasal dari perkataan orang lain. Kata-katanya keluar tanpa maksud ditujukan langsung pada saya, tapi saya gak sengaja dengar.

“Anak itu loh, semenjak anakku temenan sama dia, anakku jadi suka main keluar. Gak mau diem di rumah.”

Sampai sekarang dia gak tahu saya denger kalau dia pernah bicara begitu. Padahal simpel banget masalahnya. Tapi saya sakit hati banget. Saya takut main ke rumahnya lagi karena mikir saya jadi dampak buruk buat anak-anak lain.

Kalimat itu terngiang-ngiang banget. Saya jadi lebih berhati-hati waktu itu kalau mau ngajak temen main. Ada seorang ibu pernah titip pesen, “Nanti jam 12 pulang yaaa.”

Saya jawab, “Iyaaa.” Terus kami main deh. 

Adzan udah berkumandang. Waktunya pulang. Tapi temenku gak mau diajak pulang.

“Ibumu tadi kan pesen pulang jam 12,” ucapku.

“Ahh, gak papa. Telat dikit juga.”

Takut kalau dianggap kasih dampak buruk lagi. Padahal kasusnya ini beda orang. 

Hingga akhirnya, kelas 4 atau 3, saya lupa, saya sakit tifus. Dilarikan ke puskesmas, tinggal di sana selama sebulan terus dirawat di rumah sekian minggu. Sejak sakit, saya tidak main lagi, dan sejak hari itu saya menjadi anak rumahan. Rasanya malu main ke kampung tempat biasa saya main. Canggung juga ketemu orang tua yang pernah membicarakan saya dulu.

Beberapa tahun saya masih inget omongannya. Lebaran 1, lebaran 2, lebaran 3, tiap ke rumahnya rasanya takut. Tiap minta maaf lahir batin, permintaan maaf saya di batin saya itu sama, “Maaf bikin anak kamu jadi bandel.” Sedih banget karena saya merasa bersalah. Sedih juga kalau ada temen yang lebih milih main sama saya daripada dengerin omongan orang tuanya.

Padahal ibu-ibu itu baik banget ke saya. Cuma kekesalan sesaat mungkin. Efek yang saya kasih juga tidak begitu besar. Karena jarak tempat main itu deket, cuma ke rumah tetangga sebelah. Saya gak jahat banget. 

Trauma Saya Semasa Kecil

Lebay banget, memakai istilah trauma. Tapi karena trauma ini, kehidupan saya jadi lebih berhati-hati dalam rentan waktu beberapa tahun ke depan. Tapi tampaknya trauma ini sembuh sekarang, karena mulai memahami bagaimana cara aman agar terhindar dari ketakutan saya.

Trauma saya adalah menyebar gosip. 

Saya punya teman seorang wanita. Dia pernah menceritakan aktivitas buruknya saat tidur, dia minta dirahasiakan tapi saya membeberkannya karena lucu jika diketahui orang-orang. Saat memberitahu ke orang lain, saya tidak menyadari bahwa ada dia di sisi saya. Jaraknya sekitar 5 meter mungkin. Saya yakin dia dengar! Meski kelihatannya fokus dia kepada yang lain, saya yakin dia dengar saya membocorkan rahasianya.

Perkataan saya berhenti. Diam dalam rasa bersalah dan malu. Hal ini terngiang-ngiang selama bertahun-tahun. Karena hal ini saya tidak suka ghibah. Saat diajak ghibah, saya lirik kanan-kiri mencari orang yang dighibahi ada di mana. Takut banget kalau ternyata ada di samping saya. Karena kewaspadaan ini dan kelebay-an saya, teman yang mau ghibah pun urung niat.

Sayang sekali, trauma baik ini harus sembuh. Sekarang saya bisa ghibah kapan saja tiap kali kehabisan topik. Saya tidak takut lagi jika tiba-tiba muncul dia di sisi saya. Andai, trauma itu datang lagi.

Kepribadian Saya Berubah Sejak Lulus Sekolah Dasar

Kenapa? Apa karena saya bukan anak kecil lagi? Saya sudah jarang main keluar rumah, tidak keluyuran dan tidak main bersama anak-anak laki. Tetangga-tetangga sampai bilang, “Waah, jarang kelihatan.”

Lalu saat masuk SMP, sikap saya kepada teman-teman ikut berubah. Saya tidak seceplas-ceplos dulu, tidak ngelawak lagi, dan untuk mengeluarkan suara keras saja saya pikir-pikir. Kedewasaan mengubah ini ya? Saya berubah takut pada orang-orang, malu, dan teman-teman yang dulu sangat akrab, sekarang jadi asing dan mereka tidak mengenali saya lagi karena menatap mata mereka saja saya enggan.

“Kenapa ya, saya menjadi seperti itu?”

Makin dewasa makin parah. Sekarang saya malu keluar rumah. Tidak suka bertemu orang. Tetangga saya melihat saya keluar rumah adalah suatu keberuntungan? Di desa sendiri ini, saya sempat merasa pangling. 

“Sejak kapan ada bangunan ini?”

Padahal bukan anak rantauan atau anak pondokan. Hanya anak rumahan.

Rindu sekali dengan masa kecil. Tapi saya gak mau balik ke masa itu. Takut jika saya ulang, kenangannya malah jadi tidak menyenangkan. 

Andai kelak saya masuk Surga, saya ingin minta ke Allah buat diputarkan kenangan ini. Memori manusia sangat lemah. Saya ingin ingat lebih detail.

Dear, My Best Friends When i Was Child

Banyak perubahan yang kita hadapi sejak dewasa. Kalau melihat kehidupan kalian yang dulu dan sekarang, kalian berbeda banget, begitupun saya. Perbedaan paling terlihat adalah kita jadi asing, padahal dulu deket banget.

Pernah gak kalian inget-inget masa kecil seperti saya mengingat masa kecil yang pernah kita lalui. Kalian pasti pernah lah ya, kalian tidak memperlihatkannya saja. Rindu gak? Pasti rindu.

Kini kita udah dewasa. Kita banyak berubah. Tidak imut lagi. Tidak penakut lagi. Hidup kita terlalu seperti Larry. Rasanya kita terlalu jauh melangkah, kita terlalu berani. Sekarang, kita mulai kenal dengan yang namanya ujian hidup. Hidup jadi makin berat dan memalukan karena kita semua sempat terlena dalam kemaksiatan. Semoga kita bisa penakut kayak dulu dan tahu batas. 

Saya sedikit memantau kalian sahabat-sahabatku. Meski tidak dekat, tapi jika ada kabar dari kalian dari mulut orang, saya akan mendengarnya. Terimakasih juga untuk teman yang tetap menyapaku yang berlaku sombong ini. Khususnya buat kamu yang suka memukul tulang keringku, kamu bener-bener ramah banget. Andai saya bisa lebih luwes dan tidak malu-malu begini. Ah, andaiiiii.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *